|
JARI PPTKLN Minta Pemerintah dan DPR Hentikan Panja RUU
PPILN
8Globalita-Jakarta,
Masyarakat sipil yang menamakan Jaringan Advokasi Revisi Undang-undang Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri (JARI-PPTKLN)
mendesak Pemerintah dan Panja RUU PPILN DPR RI untuk menghentikan sementara
pembahasan revisi UU No.39/2004 hingga pemilu 2014 berakhir.
Hal itu disampaikan dihadapan sejumlah wartawan di Jakarta,
Rabu (4/9/20130. Hadir di acara tersebut, Koordinator JARI PPTKLN Nurus S
Mufidah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia Erna Murniaty, Koordinator Jala
PRT Lita Anggraini, Solidaritas Perempuan Dinda Nuranisa Yura, Direktur Migran
Institut Adi Candra Utama, FSPTSK Reformasi Ari Sunarjati, Pengacara
Publik LBH Jakarta Eny Rofiatul.
Menurut Koordinator JARI PPTKLN, Nurus S Mufidah, sikap
tersebut dilatarbelakangi beberapa alasan, pertama, Sisa Masa Sidang sangat
Pendek sehingga tidak memungkinkan menghasilkan Undang-undang yang
berprespektif Perlindungan terhadap Pekerja Migran.
Mengingat pembahasan RUU PPILN sudah dilakukan sejak 26
Februari 2013 terhitung hingga hari ini, sudah 5 kali pembahasan. Namun
pembahasan hanya berkutat diseputar judul. Padahal dalam tata tertib DPR pasal
138 ayat 1 disebutkan “Pembahasan RUU adalah dua kali dan dapat diperpanjang 1
kali masa sidang.
Artinya pembahasan RUU PPILN hanya menyisakan satu kali masa
sidang yaitu pada masa sidang ke-1 (16 Agustus 2013 – 25 Oktober 2013),
sisa 49 hari kerja. Pada masa sidang ke-2 (18 November 2013 – 20 Desember
2013), sisa 25 hari kerja.
Sementara DIM RUU PPILN yang belum dibahas sisa 906 dari 907
nomor. Sepanjang Februari hingga Agustus Pemerintah dan DPR hanya sanggup
membahas judul RUU, maka sangat tidak logis untuk membahas RUU PPILN secara
serius dan menghasilkan UU yang benar-benar mampu melindungi Pekerja Migran
dalam kurun waktu yang tersisa.
“Hal ini akan berdampak pada substansi, yang dihasilkan pasti
jauh dari prinsip perlindungan pekerja migran,” kata Nurus Mufidah.
Kedua, Draft RUU PPILN yang saat ini sedang dibahas antara Panja
PPILN Komisi IX DPR RI dengan Pemerintah masih jauh dari prinsip perlindungan.
Tidak hanya sisa waktu yang singkat, tapi juga substansi draft
RUU PPILN masih sangat jauh dari perlindungan. Proses Revisi UU 39 Tahun 2004
tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia Keluar Negeri
(PPTKLN ini, dimulai melalui prolegnas tahun 2010.
Namun hingga dua tahun berturut-turut masuk prolegnas RUU ini
tidak juga dibahas. Baru di tahun 2012 ketika RUU ini kembali masuk prolegnas,
pembahasan mulai dilakukan oleh DPR dan disahkan pada rapat paripurna tanggal 5
Juli 2012 sebagai RUU PPILN inisiatif DPR RI.
Pada 2 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menginstruksikan 6 Menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU PPILN
dengan DPR, yaitu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Menteri
Hukum dan Hak Azasi manusia.
Pada 6 Februari 2013, Pemerintah menyerahkan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR. Tapi DIM yang dibahas 6 Kementerian
selama 7 bulan tersebut menggambarkan bahwa Pemerintah tidak mempunyai
terobosan dalam melindungi buruh migran Indonesia.
Ini jelas terlihat dari substansi DIM, tidak mengalami
perubahan mendasar dibandingkan dengan UU lama, terutama dalam konteks
perlindungan. Bahkan pemerintah tidak menggunakan Konvensi PBB tentang
Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang telah diratifikasi,
sebagai dasar penyusunan DIM RUU PPTKLN.
Padahal pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan
harmonisasi perundang-undangan nasional, dengan menjadikan konvensi yang sudah
diratifikasi sebagai dasar dari kebijakan lainnya.
Ketiga, Konstelasi Politik Menuju Pemilu 2014 menyebabkan
partai politik dan anggota DPR saat ini focus untuk kepentingan pemenangan
pemilu.
Sejak ditetapkannya daftar caleg peserta pemilu 2014,
masing-masing anggota DPR RI sibuk mempersiapkan pemenangan pemilu 2014 di
daerah pemilihan (dapil) masing-masing, termasuk anggota Panitia Kerja (Panja)
RUU PPILN.
“Tentu saja ini mengurangi focus kinerja mereka dalam
melakukan pembahasan undang-undang, akibatnya, jika pembahasan RUU PPILN
dipaksakan, hasilnya dikhawatirkan akan sangat jauh dari prinsip perlindungan,”
terang Nurus Mufidah.
Keempat, untuk kepentingan kerja-kerja politik sangat butuh
biaya sehingga mengkhawatirkan untuk dijadikan objek politik transaksional.
Mengingat pekerja migran, berhubungan erat dengan bisnis penempatan
yang melibatkan pendanaan dalam jumlah besar.
“Jika pembahasan ini tetap dilanjutkan, pembahasan RUU
PPILN bisa dijadikan objek saja untuk memperoleh keuntungan bagi oknum-oknum
anggota-anggota DPR RI dalam upaya mengumpulkan biaya pemenangan pemilu 2014,”
papar Mufidah kepada Wartawan, dalam acara jumpa Pers, Rabu (4/9/2013) di
kawasan Cikini Jakarta. (Lrd.Khalits)