Tragis, 28 Persen Pelacur Bandung Berstatus Pelajar
ist.
8GlobaliTa- Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat menemukan kasus bahwa 28 persen pekerja seks anak/remaja di Bandung Raya adalah pelajar aktif atau masih bersekolah. Kondisi ini antara lain dipicu oleh gaya hidup. Keberadaan mereka sudah menjadi jaringan karena ada yang dikendalikan oleh orang dewasa atau oleh teman sendiri.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua P2TP2A Provinsi Jawa Barat, Dra Hj Yeni Huriyani MHum, yang ditemui pada acara Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Unisba 2013 di Aula Unisba.
Yeni mengatakan, para remaja yang terjerumus perilaku negatif ini masih bersekolah seperti umumnya pelajar. Menurut Yeni, pihak sekolah, bahkan orang tua mereka, mungkin tidak tahu aktivitas anak mereka di luar. Ironinya, perilaku mereka dipicu antara lain oleh gaya hidup.
"Ada pergeseran dalam lingkungan. Gaya hidup jadi berubah. Hanya karena ingin bisa nongkrong di kafe elite, jajan di kafe elite, mereka seperti itu (jadi pekerja seks), bahkan ada yang ingin handphone bagus, lalu janjian di luar sekolah," katanya.
Disinggung tentang pihak yang mengendalikan aktivitas mereka, Yeni mengatakan kelompok tersebut sudah memiliki jaringan. Selain ada orang dewasa yang mengatur, aktivitas mereka juga dikendalikan oleh teman sendiri dengan memanfaatkan ponsel.
Menurut dia, saat ini teknologi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi membuat orang cerdas dan aware terhadap teknologi tinggi, tapi di sisi lain menjerumuskan. "Jadi, orang tua juga harus tahu gadget anaknya itu apakah dimanfaatkan secara positif atau tidak," katanya.
Yeni juga mengatakan, saat ini anak-anak, khususnya remaja, berada dalam situasi kritis. Dari temuan lembaganya, diketahui ada yang masih berusia 13 tahun yang berarti mereka masih bisa disebut anak-anak karena masih duduk di bangku SMP. Kebanyakan mereka berusia di bawah 18 tahun. Pada masa inilah sedang terjadi transisi atau peralihan dari anak-anak ke remaja.
"Orang tua sekarang masih belum terbuka tentang pendidikan seksual. Masih menganggap tabu. Akhirnya anak mencari sendiri, coba-coba lalu terjerumus," katanya.
Namun yang menjadi perhatian, ujarnya, saat ini ada pergeseran bahwa ternyata perilaku negatif para pelajar ini tanpa paksaan. Ada kasus yang ditangani karena berawal dari korban perkosaan, tapi karena terjerumus dan tidak ada yang memperhatikan serta mengarahkan, akhirnya perilaku mereka menjadi "sukarela". "Dan penggunanya adalah orang dewasa yang memiliki uang," kata Yeni.
P2TP2A tidak melihat adanya status sosial dalam masalah ini karena adanya pergeseran gaya hidup tersebut. Ia mencontohkan, siswa SMK yang sedang berada di salon akhirnya menjadi korban trafiking. "Kelas sosial sekarang sudah blur. Contoh tadi, mereka ke salon, berarti mereka bukanlah kalangan bawah," katanya.
Dari data P2TP2A Jawa Barat, ditemukan juga anak-anak jalanan di bawah usia 13 tahun sudah mengalami seks bebas. Di Kota Bandung tahun 80-an persoalan seks bebas melanda mahasiswa. Namun sekarang terus mengalami pergeseran.
Bahkan dari data base on case, kasus perkosaan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak karena korban diiming-imingi uang. Anak-anak ini mau karena gaya hidup juga. Menurut temuan P2TP2A, korban mau karena ingin jajan di minimarket.
"Mereka hanya punya uang Rp 2.000, tidak cukup. Ketika diiming-imingi Rp 10 ribu, akhirnya mereka terjerumus dan menjadi korban, dan ini (perkosaan) berulang-ulang," kata Yeni seperti dikutip TRibun Jabar, Kamis (5/9).
Memprihatinkannya lagi, kasus seperti ini terjadi tidak hanya di perkotaan, tapi juga perdesaan karena menjamurnya juga minimarket di gang-gang. Soal pihak sekolah tahu perilaku siswinya yang seperti itu, Yeni mengatakan, ada kemungkinan pihak sekolah tidak tahu, atau sudah tahu tapi menutup mata karena takut aib dan mencemarkan nama sekolah.
Karena itulah, kata Yeni, semua pihak terkait harus bijak dalam melihat permasalahan ini. Bagaimana agar anak-anak ini ditangani dengan baik agar tidak terjerumus lebih dalam. "Salah satunya perhatikan hal anak, jangan sampai hak anak terabaikan. Karena itu tadi, awalnya terpaksa karena tidak ditangani bisa terjerumus, hingga dari terpaksa jadi sukarela," katanya.