I BERANDA I NASIONAL I INTERNASIONAL I METROPOLITAN I POLHUKAM I SOSDIKBUD I EKOBIS I SLERA I OLAHRAGA I NEWSTV I

Rabu, 17 Februari 2016

News/Rab-17-02-2016/20:02-WIB/RUU Pengampunan Pengemplang Pajak Karpet Merah Bagi Koruptor


Rabu 17 Februari 2016  || 20 : 02 WIB
Kategori : News
Penulis   : Lrd Viga – 801 / Riri Ulfa

RUU Pengampunan Pengemplang Pajak Karpet Merah Bagi Koruptor

Erwin, Ray Rangkuty, Apung, Yeni Sucipto
 
8GlobaliTa – Jakarta, FITRA menolak RUU Pengampunan Pengemplang Pajak dan Logika Berhentinya Kasus BLBI. Karena hanya akan memberikan fasilitas “Karpet Merah” bagi para Koruptor.

Saat ini pengelolaan anggaran Negara baik itu dari sisi penerimaan dan belanja di Indonesia sedang mengalami masa krisis. Krisis tersebut yaitu dari sisi penerimaan pemerintah lemah dalam meningkatkan pendapatan. Justru banyak melakukan obral kebijakan pajak yang berdampak pada penurunan pendapatan.

Sebaliknya, dalam sector belanja, pemerintah banyak mengeluarkan untuk biaya infrastruktur nasional dan memangkas subsidi. Infrastruktur yang dibiayai adalah sector usaha besar yang berhubungan dengan investor. Kebutuhan dana besar menyebabkan pemerintah selalu deficit dalam pembiayaan. Hal ini berpotensi menaikkan hutang luar neger. Pembiayaan infrastruktur diserahkan ke asing dan menghalalkan segala cara agar dana segar masuk ke Indonesia dalam bentuk pengampunan pajak.

 
Kondisi darurat seperti ini berdampak pada ketidakseimbangan fiscal nasional sehingga menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin jauh dan membahayakan struktur APBN yang berorientasi pada kelas elit dan kepentingan asing dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat kecil.

Minimnya penerimaan pajak menjadi masalah utama. Perbaikan system pemungutan menjadi prioritas, bukan sebaliknya justru pengampunan. Hingga 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp.598.270 trliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan oleh APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294.258 triliun. Realisasi penerimaan pajak mencapai 46,22%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup baik di sector tertentu, namun mengalami penurunan pertumbuhan di sector lainnya. Anehnya, dari uang 10.000 Triliun di luar negeri. Kementerian Keuangan hanya menargetkan 60 Triliun dalam APBN 2016.

Saat ini, tepatnya Rabu (17/2/2016), DPR justru menyetujui usulan RUU Pengampunan Pajak. Menyoroti hal ini, FITRA mencatat ada banyak masalah dalam RUU tersebut.

 
Diantaranya yaitu, Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir dalam pasal 23 A, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. Dimana, pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada system hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni.

Kedua, ada skala prioritas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) revisi Nomor 16 Tahun 2009 perlu didahulukan dari RUU pengampunan Pajak. Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi  UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan system pemungutan pajak. Proses RUU Pengampunan pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada Naskah Akademiknya, sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar.

Ketiga, RUU ini bertentangan dengan UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 pasal  Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Keempat, Sistem Pengampunan Pajak selalu gagal, tahun 1964 dan 1984 karena saat ini tidak sejalan dengan system dan mekanisme tata cara pemungutan pajak. Sehingga kebijakan tersebut saat itu hanya dimanfaatkan orang tertentu tanpa berdampak signifitas terhadap pendapatan Negara. RUU pengampunan pajak inipun sesungguhnya bertentangan dengan KUP dan prediksi akan kembali gagal.

Kelima, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas “karpet merah” bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan financial, dan pencucian uang. Dimana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa, asal seorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta. Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia.

Keenam, pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara elit dan jelata karena system ini tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang. Hal ini bertolak belakang dengan system hukum bahwa semua warga Negara sama didepan hukum. Dan semua warga Negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Hal ini akan terasa tidak adil yaitu masyarakat akan merasa membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun justru orang kaya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan jelata.

Ketujuh, RUU ini tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Dalam RUU ini, pengampunan akan didasarkan pada presentasi jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusan. System ini naïf karena masalah rahasia perbankan yang system dirjen pun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.

Kedelapan, jumlah uang muka dalam RUU pengampunan ini sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan Negara dari sector. Tercatat uang tebusan hanya 3%, 5% dan 8%. Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan diatas 25%. Ini adalah kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu disaat negeri ini membutuhkan uang segar untuk pembiayaan infrastruktur.

Kesembilan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak langsung dibawah Presiden ini tidak akan efektik dan tumpang tindih dengan Dirjen Pajak dan penegak hukum lain. System data dan informasi juga tidak trasparan dan akuntabel. Selain itu jika pembiayaan menggunakan APBN semakin memboroskan Negara, dan jika sesuai RUU ini dihitung dari prosentase jumlah penarikan uang tebusan justru bermasalah dari sisi transparansi dan akuntabilitasnya.

Kesepuluh, Potensi korupsi berupa ruang transaksional sangat tinggi. Hal ini tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas karena system pengawasan, transparansi dan akuntabilitasnya tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi proses transaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan dll.

Oleh sebab itu, Fitra merekomendasikan bahwa, Pertama agar DPR harus segera membatalkan dan menarik RUU Pengampunan Pajak. Kedua Pemerintah harus segera tegas menolak RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Prioritas Pembahasan Legislasi Nasional Tahun 2015.

Ketiga, Sebagai alternarif, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pemungutan pajak pengawasan dan perbaikan system hukumnya. Sehingga potensi pajak hilang dapat ditarik. Bukan sebaliknya obral pengampunan. Keempat, Harus ada upaya peningkatan efektifitas sunset policy dan tax holiday.

Keenam, Batalkan Target Pendapatan dari RUU Pengampunan Pajak sebesar 60 T di APBN 2016. Ketujuh, RUU ini diduga hanya akan menjadi alat kembalinya harta haram dari perampokan BLBI yang ditimbun di Luar Negeri, perkiraan ternak harta BLBI mencapai 7.000 T saat ini.

Kedelapan, Logika ini juga bersamaan dengan RUU KPK yang bertujuan melemahkan KPK sehingga dana haram masuk melalui RUU Pengampunan Pajak dan seiring dengan melemahkan KPK. Ini scenario buruk koruptor dan konglomerat untuk berkuasa dengan kekayaan dengan kekuasaannya terhadap Negara

Demikian, disampaikan Sekjen FITRA, Yeni Sucipto, dalam acara Diskusi Publik yang digelar di Kawasan Thmarin Jakarta, Rabu (17/2/2016). (8GlobaliTa – Lrd Viga – 801 / Riri Ulfa).