I BERANDA I NASIONAL I INTERNASIONAL I METROPOLITAN I POLHUKAM I SOSDIKBUD I EKOBIS I SLERA I OLAHRAGA I NEWSTV I

Kamis, 12 September 2013

Koppas Madu Sangkal Pernyataan Henry
“Henry Pembohong”



8Globalita.com- Jakarta, Para Pedagang Pasar Mangga Dua Jakarta Utara yang tergabung dalam Koperasi Pedagang Pasar Mangga Dua (Koppas Madu) Jakarta Utara, menggelar jumpa pers di Kebon Sirih Jakarta, Selasa (10/9/2013) guna menanggapi konferensi pers yang dilakukan Henry S Tjandra tertanggal 6 September 2013, di tempat yang sama di kawasan Kebon Sirih Jakarta.

Dalam jumpa pers tersebut Koppas MaDu menyampaikan keberatan atas beberapa hal yang disampaikan Henry S Tjandra yang mengatasnamakan Pengurus ITC Mangga Dua Jakarta Utara. 

Koppas Madu Jakarta Utara, mengatakan bahwa yang disampaikan Henry S Tjandra yang mengatasnamakan Pengurus ITC Mangga Dua Jakarta Utara adalah tidak benar dan penuh kebohongan.

”Keberadaan Koppas Madu, sah dan telah disahkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM sejak tahun 2001. Pengurus PPRS ITC Mangga Dua Lingkungan I-A yang diadakan tanggal 22 dan 30 Juli 2013 adalah murni dilakukan oleh para penghuni.
“Tidak ada pengurus yang berasal dari karyawan, seperti Henry S Tjandra Henry itu hanya karyawan, tidak berdagang dan tidak memiliki kios di ITC Mangga Dua,” ungkap Mardianta.

Pernyataan Henry S Tjandra tentang pemutusan aliran listrik terhadap 672 kios dikarenakan penyewa tidak membayar tagihan listrik selama 7 bulan, menurut Koppas Madu itu tidak benar dan merupakan kebohongan.

”Tidak satupun kios dari anggota Koppas Madu yang menunggak listrik selama 7 bulan,” jelas Ketua Koperasi Pedangang Pasar Mangga Dua Jakarta Utara, Mardianta.

Pengelolaan ITC Mangga Dua dijelaskan Mardianta, tidak sama dengan pasar yang dikelola PD Pasar Jaya. PD Pasar Jaya adalah pemilik dan pengelola sebagai pihak yang berkuasa penuh, sehingga berhak menentukan semua kebijakan yang menyangkut dengan PD Pasar Jaya.

Sedangkan ITC Mangga Dua merupakan perusahaan swasta yang dibangun oleh pengembang kemudian dijual kepada konsumen/pembeli. Gedung bukan lagi milik pengembang, tapi milik konsumen/pembeli secara kolektif.

”Pengembang tidak berhak lagi mengatur apalagi mengelola gedung, pengelola ITC Mangga Dua harus dipilih melalui Pemilihan Ketua PPRS yang transparan dan demokrasi tanpa rekayasa, inilah yang berhak menunjuk pengelola,” tambahnya.

Namun kenyataannya ITC Mangga Dua kata Mardianta, pengelolaannya dilakukan langsung oleh para karyawan pengembang dengan cara memperkerjakan oknum-oknum atau menyewa jasa perusahaan outsourching dari luar sebagai pengelola. PT JSI selaku perusahaan  jasa outsourching yang disewa, di dalamnya adalah para karyawan pengembang dan oknum tersebut.

“Itu PT JSI selalu pengelola, tidak berhak memutus aliran listrik para pemilik/penghuni, karena pemilik/penghuni merupakan majikannya. Itu tidak pantas..” kata Mardianta.

PT JSI merupakan pekerja dan bekeja berdasarkan kontrak kerja/perjanjian dengan para penghuni sebagai pekertja. PT JSI hanya melakukan atau membayarkan apa yang diperintahkan oleh penghuni selaku majikan.

“Jika Majikan/penghuni tidak membayar listrik, itu merupakan hubungan hukum antara pemilik/penghuni dengan PLN, bukan urusan pengelola,” Tandas Mardianta.

Tindakan PT JSI yang menaikkan iuran sesuka hatinya, tanpa persetujuan para pemilik/penghuni kios, merupakan tindakan salah kaprah dan tidak mengerti status atau kedudukannya.

“Tindakan PT JSI yang memutus aliran listrik, secara hukum jelas tidak masuk akal, jelas ini melanggar hukum, karena setahu kami PLN bekerja sendiri, tidak bekerjasama dengan pihak ketiga..” tegas Mardianta.

Di kesempatan ini, Koppas MaDu Jakarta Utara juga mengutarakan tidak sependapat dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang menyatakan bahwa urusan pemutusan listrik ITC merupakan soal kecil, karena tidak hanya menyangkut urusan listrik, tapi merupakan persoalan besar yang sudah terjadi selama puluhan tahun.

Adanya perilaku pengembang, menyimpang dari aturan dan norma jual beli yang berlaku. Namun selelah menjual, pihak pengembang tidak bersedia menyerahkan asset-asset kepada konsumen.

Akan tetapi tetap bercokol di rumah susun dan menjadikan rusun yang sudah dijual dan konsumen sebagai objek keuntungan demi kepentingan pengembang.

Mulai dari PPRS fiktif yang dijadikan sebagai alat/tameng untuk berlindung bagi pengembang dengan cara menempatkan karyawannya pada Pengurusan PPRS. Semantara karyawan tersebut menjalankan semua perintah pengembang sehingga pengurus yang berasal dari karyawan jelas sangat berbeda sikap dan tindakannya dengan pengurus yang berasal dari yang benar-benar penghuni/pemilik. Demikian papar Anggota dan juga pengurus Koppas Madu ini saat konferensi Pers di kawasan Kebon Sirih Jakarta, Selasa (10/9/2013).
 (Lrd.Khlaits)