I BERANDA I NASIONAL I INTERNASIONAL I METROPOLITAN I POLHUKAM I SOSDIKBUD I EKOBIS I SLERA I OLAHRAGA I NEWSTV I

Kamis, 16 Juni 2016

Fakta&Opini/Kam-16/06/2016/21:25-WIB/Sikap Perilaku Bawahan Cermin Pimpinannya, Sikap Perilaku Anak Cermin Bapaknya



Kamis 16 Juni 2016 ||  21 : 25 WIB
Kategori : Fakta Dan Opini
Penulis   : Lrd Viga - 801 S.Sos

Sikap Perilaku Bawahan Cermin Pimpinannya, Sikap Perilaku Anak Cermin Bapaknya 

 
8GlobaliTa – Jakarta, Sikap, perilaku dan cara serta sepak terjang, bawahan, anak buah, ajudan, sekretaris, asisten atau karyawan cerminan dari pimpinannya. Sama halnya seperti seorang anak, semua sikap, tutur kata dan perilaku anak merupakan cerminan dari bapaknya.

Bila seorang anak berkata dengan ucapan santun dan tutur kata lembut, tentulah ia di asuh dan di didik oleh orang tua yang santun, berpendidikan, bermoral dan berderajat. Demikian juga seorang bawahan yang santun dan bijak serta sopan dalam bertindak dan bertutur kata lembut penuh kasih, pastilah ia di bawah naungan seorang pemimpin yang santun, bijak dan penuh kasih.

“Siapa lu?...” tanya seorang ajudan Sandiaga Uno atau yang mengkoordinir kehadiran wartawan di acara buka puasa bersama Sandiaga Uno dengan Ketua PWNU Jakarta Timur di Rumah kediaman H Syukron, begitulah seorang tukang ojek menyebutnya saat menunjukkan alamat di Jl. Kampung Kapuk II No.1 Rt. 001/06 Klender Duren Sawit Jakarta Timur, tempat Sandiaga Uno menggelar buka puasa bersama, Kamis (16/06/2016).

 
Pertanyaan itu ditujukan ajudan Sandiaga Uno kepada Wartawan yang meliput kegiatan Sandiaga Uno, dengan dengan nada ketus dan bahasa yang tidak bersahabat dibarengi sorot mata tajam penuh permusuhan, dengan sikap sedikit menantang seakan mengajak berkelahi. Saat itu Ajudan Sandiaga Uno sedang menebar uang kepada beberapa para awak media, yang notabene adalah media besar dan terkenal.

“Saya dari pers.. 8Globalita dan Puteriputeri..” jawab wartawan dengan tegas dan dengan nada ramah saat menjawab pertanyaan tersebut, sambil membalas menatap sorot mata arogan ajudan Sandiaga Uno, yang berbadan tinggi besar dan bertubuh gempal.

“Apa tuh?!” tanya ajudan itu lagi masih dengan sorot mata arogan dan dengan nada sedikit mencemooh, sambil memutar badan mencoba menghindar dengan sedikit berkelit, namun ucapan arogannya seperti seorang yang berkuasa dan ingin mempermalukan.

Berdasarkan data dan fakta hasil investigasi di lapangan, sebelumnya ajudan Sandiaga Uno itu, terlihat menyapa ramah kepada beberapa awak media, dan memberikan uang kepada beberapa wartawan yang sudah melakukan wawancara langsung. Di antaranya ada Jak TV, TV One, dan beberapa pers lain.

 
Satu persatu, awak media tersebut di beri upeti. Melihat itu, tentu saja sebagai wartawan yang juga sudah turut melakukan wawancara langsung bersama mereka, menghampiri ajudan Sandiaga Uno tersebut. Bermaksud hendak pamit dan ijin pulang, serta ingin meminta nomor telpon dan emailnya. Sambil berharap sama seperti wartawan yang lainnya, diberi dan menerima upeti juga, karena telah ikut berbaur dengan wartawan lainya, berwawancara dengan Sandiaga Uno.

Tapi sungguh tidak diduga, justru malah mendapat pertanyaan sombong dan congkak, penuh permusuhan dari Ajudan Sandiaga Uno. Nada ucapan dengan penekanan yang sedikit menghardik – sangat tidak bersahabat “ Siapa Lu!” serta sorot mata tajam penuh permusuhan dan kemarahan. Bak seorang preman yang sedang menantang berkelahi, menghadapi lawannya untuk mengajak berduel.

Sepertinya Ajudan Sandiaga Uno lupa, kalau Sandiaga Uno itu, belumlah jadi Gubernur. Tetapi, dia sudah memperlihatkan aroganisnya di hadapan wartawan. Mungkin Sandiago Uno selaku pimpinannya itu, lupa memberitahukan bawahannya tersebut, kalau dirinya (Sandiaga Uno) adalah seorang public figure yang sedang dalam proses mencari nama dan suara rakyat. Sebagai seseorang yang hendak mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin. Mungkin sosok Sandiaga Uno, yang berusaha nampak ramah di layar kaca, adalah sosok yang baik. Tapi apapun sikap dan sepak terjang yang diperlihatkan ajudan, asisten, bawahan, karyawan, dan orang-orang terdekatnya justru sesungguhnya telah memperlihatkan wujud asli Sandiaga Uno itu sendiri.  

 
Anggap saja, sikap dan perilaku buruk orang-orang terdekat Sandiaga Uno adalah wujud yang diperlihatkan Tuhan secara langsung kepada kita semua, kalau sesungguhnya seperti itulah watak dan karakter sikap dan sepak terjang Sandiaga Uno. Dan Tuhan memperlihatkannya melalui orang-orang terdekatnya. Karena sikap anak buah, bawahan, karyawan, sekretaris adalah perwujudan – cerminan dari pimpinannya. Sikap dan perilaku anak merupakan perwujudan dan cerminan orang tuanya.

Apalagi setelah wartawan itu mengatakan nama memperkenalkan diri dan nama medianya seperti pertanyaan yang diajukan ajudan Sandiaga Uno tersebut. Masih dengan sikap sok dan angkuh Ajudan Sandiaga Uno itu berkata : “Gua nggak ngundang!!” dengan nada penuh penekanan dan kemarahan yang coba sedikit ditahan, masih dengan mata melotot tajam penuh permusuhan dan dengan nada menganggap rendah media.

Sepertinya Sandiaga Uno, sebagai publik pigur yang sedang mencari nama dan kasak kusuk mencari massa ini lupa memberitahu atau menatar, bahkan lupa mengingatkan orang-orang terdekatnya bahwa ia adalah seorang public pigur yang sedang mencari nama, mencari dukungan massa, untuk bisa mencalonkan diri jadi Gubernur DKI.

Sangat menyedihkan kalau seorang public pigur calon pemimpin DKI, seperti Sandiaga Uno lupa mengingatkan orang-orang terdekatnya kalau ia akan banyak berhadapan dengan media, dan dengan banyak wartawan.

Sangat disayangkan jika seorang public pigur seperti Sandiaga Uno, tidak mengerti kebebasan pers yang sekarang sudah sangat didukung dengan perkembangan media massa dan media social. Bagaimana bisa seorang yang ingin mencalonkan diri menjadi pemimpin DKI atau pemimpin apapun di negeri ini, tidak mengerti kebebasan pers saat ini, yang kebebasannya dilindungi Undang-undang. Khususnya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sepertinya Sandiaga Uno, harus belajar lagi untuk bisa mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin apalagi duduk di pemerintahan. Jika tidak mengerti aturan main seorang public pigur, aturan main seorang pemimpin, aturan main calon pemimpin yang akan duduk di pemerintahan, memimpin pemerintahan Daerah. Apa kata dunia??...

Sebaiknya, sebelum mencalonkan diri, Sandiaga Uno, untuk berpikir ulang, bagaimana ia akan bisa menjadi seorang pemimpin menata Daerah menata pemerintahan, jika menata orang-orang terdekatnya saja tidak becus.

Ini jaman kebebasan pers, Bung !!! dimana untuk menulis dan mencari berita pers atau wartawan tidak perlu lagi di undang. Karena pers dan publik pigur bukanlah sebuah acara seremonial hajatan hura-hura dan makan-makan semata, dimana harus ada undangan dan pemberitahuan secara tertulis. Pers punya kebebasan mencari dan menulis berita apa dan siapa.

Ketika Ajudan Sandiaga Uno mengatakan dengan ketus, arogan, angkuh dan sombong dengan bahasa ala preman yang sesugguhnya tidak pantas dilontarkan seorang ajudan atau orang terdekat dari seorang public pigure, apalagi dengan nada sedikit mencemooh dan menghardik “Gua Nggak Ngundang!” itu sudah mencerminkan bahwa sesungguhnya Sandiaga Uno, sangatlah tidak punya sopan santun dan komunikasi yang baik.

Itu tercermin dari bawahan dan orang terdekatnya. Sesungguhnya Sandiaga Uno, sangatlah tidak layak menjadi seorang pemimpin, apalagi memimpin sebuah pemerintahan Daerah maupun di Negara ini.

Seorang pemimpin yang pantas memimpin selain bisa bersikap santun juga haruslah bisa merangkul semua orang, tidak melihat siapa dia, apa dan dari mana. Karena warga DKI dan warga Negara ini amat sangat beragam. Warga tidak perlu dipuja dan dihormati, tapi di rangkul, diterima dan diperlakukan dengan baik, itu sudah cukup. Warga tidak pernah meminta lebih, tapi pemimpinlah yang sering kali meminta lebih.

Seorang Sandiaga Uno, belum lagi menjadi pemimpin, tapi kelakuan orang-orang terdekatnya seakan Sandiaga Uno itu sudah menjadi pemimpin dan penguasa. Belum apa-apa, tapi sudah sok berkuasa. Belum lagi berkuasa, tapi sudah seperti orang yang paling penting. Belum lagi menjadi orang penting, tapi sudah menyelepekan orang. Dan yang disepelekan itu adalah calon warganya, yang mungkin saja punya hati untuk memilih.

Tapi karena sikap arogan dan sok orang terdekat Sandiaga Uno sendiri, tentulah harus berpikir beribu kali untuk menjatuhkan pilihan kepada Sandiaga Uno. Negeri ini tidak butuh senyum kamuflase, tidak memerlukan wajah innocence alias tampak seperti tanpa dosa, tidak mengharuskan calon-calon pemimpin yang hanya merangkul beberapa gelintir orang saja. Tidak memerlukan calon pemimpin yang seperti terlihat menunduk tersipu malu, tetapi jauh di lubuk hatinya adalah hanya seonggok manusia yang tak berhati nurani.

Negara ini tidak butuh orang-orang seperti itu. Tapi negeri ini butuh seorang pemimpin yang bisa merentang tangan dan hati. Yang bisa merangkul dengan penuh cinta kasih. Dengan sorot mata teduh yang menyejukkan dan mendamaikan. Bukan sorot mata permusuhan, dan sikap arogansi serta ucapan yang menyakitkan.

“Ohh.. nggak ngundang ya?… ya sudah…” wartawan itu menjawab enteng, sambil membalas menatap ajudan yang masih memperlihatkan sikap permusuhan. Untuk kemudian wartawan itupun membalik badan meninggalkan ajudan yang tak punya sopan santun tersebut.

Mungkin ajudan Sandiaga Uno tersebut berpikir, wartawan itu akan ngotot minta uang bagian sebagaimana Ajudan Sandiaga Uno itu memberikannya kepada wartawan-wartawan lainnya. Wartawan itu bukan kepanjangan tangan, dan bukan wartawan dari kalangan yang bisa di dikte harus mengikuti perintah mereka. Bukan wartawan yang harus menulis berdasarkan kemauan narasumber semata.

Wartawan ini adalah seorang penulis yang sedang memantau dan menggali pigur para calon pemimpin negeri yang pantas dan tidak pantas memimpin negeri ini. Mencari sosok pemimpin yang bisa mengayomi rakyat, mensejahterakan rakyat, yang bisa memajukan rakyat dan Negara kearah yang lebih baik. Bukan pemimpin yang hanya bisa memeras dan mengkambinghitamkan rakyat, bukan juga yang hanya membela dan mengayomi hanya segelintir orang. Atau hanya menomor satukan orang-orang terdekatnya saja dan keluarganya saja.
Tidak heran jika, melihat pemberitaan sekarang ini, hampir semua media atau wartawan dalam pemberitaannya tidak balance, tidak objektif, dan penuh unsure memihak. Bahkan tidak sedikit wartawan atau media yang turut dalam percaturan pembelaan terhadap salah satu pihak.

Ini merupakan kebobrokan dari mental media dan mental para wartawan, karena bisa dibeli hanya dengan seratus dua ratus perak saja. Ia sudah bisa memberitakan dengan mengelu-elukan dan menomor satukan pihak tertentu. Anehnya redaksi pun turut andil dalam percaturan menciptakan kebobrokan pers yang sekarang ini terjadi.

Sudah menjadi system saat ini, pers kemudian dijadikan alat oleh orang-orang tertentu yang ingin mencari keuntungan dari kebebasan pers itu sendiri. Sadar atau tidak, pers larut dalam kancah itu. Sehingga budaya pers, yang seharusnya berimbang, jusrtu menjadi bergelut menjadi corong dan antek-antek dari pihak-pihak tertentu. Bahkan untuk itu, rela menjual harga diri pers dan profesi wartawan. Sejatinya wartawan tidak boleh menerima uang atau imbalan sebagaimana tertuang dalam kode etik pers. Dan tidak boleh menjadi kaki tangan atau pelaksana atau pun turut larut dalam kepanitiaan apapun bentuknya. Karena sejatinya pers haruslah independent dan tidak memihak.

Tapi yang terjadi sekarang ini, justru pers atau wartawan digiring menjadi penerima suap, menjadi panitia, larut dalam bagian tertentu, yang tidak lain adalah bibit cikal bakal terjadinya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Wajar jika kemudian yang menjadi pemimpin negeri ini, bukanlah harapan rakyat, karena tidak terlepas dari peran pers yang turut menciptakan kondisi Negara ini menjadi babak belur seperti sekarang, yaitu bobroknya mental, dipenuhi KKN yang makin akut, menjadi Negara yang tidak santun, penuh arogansi dan mementingkan diri sendiri. Itu semua tidak terlepas dari dimana tidak bisa dipungkiri peran pers saat ini.

Sebagai kekuatan keempat Negara ini, pers saat ini hanya memberitakan dengan membesar-besarkan atau menyoroti pihak tertentu yang memberikan upeti paling banyak. Pers menggiring dan menciptakan opini public untuk memilih pihak tertentu.

Tidak heran jika kemudian Negara ini menjadi porak poranda disegala lini seperti sekarang ini. Tidak lain dan tidak bukan, karena peran pers bisa dibeli hanya dengan 100 - Dua Ratus ribu Rupiah. Tidak terkecuali media besar sekalipun. Bahkan justru seringkali mendapat upeti paling banyak, karena media kecil seringkali tidak dianggap, dan disepelekan, alias pihak tertentu tersebut hanya memberi pada wartawan dari media-media besar saja. Sebagaimana yang terjadi di acara buka puasa bersama Sandiaga Uno, di Jl. Kampung Kapuk Jakarta Timur, Kamis (16/06/2016).

Sesungguhnya acara itu adalah di hari baik dan bulan baik. Karena buka puasa bersama Sandiaga Uno, sebagaimana terpampang di spanduk berukuran besar yang dipajang di didinding depan rumah, menghadap jalan orang berlalu lalang, yang siapapun pers atau warga yang tertarik dengan moment itu pasti akan datang ke tempat tersebut, tetapi yang terjadi justru mencerminkan ketidak baikan. Pelecehan terhadap pers dan profesi wartawan, sebagaimana ucapan yang dilontarkan ajudan Sandiaga Uno : “Siapa Lu?!!” – “Gua Nggak Ngundang!!”. Itu sebuah pelecehan teradap pers dan profesi wartawan.

Sejak kapan pers atau wartawan meliput dan mencari berita harus diundang. Kata “Siapa Lu?!!!” – “Gua Nggak Ngudang!!!” sama artinya dengan penolakan terhadap pers, dan itu dapat dijerat dengan UU Nomor 40 Tahun 1999, Tentang Pers, pasal 18. Bahwa siapapun yang menolak atau mengalang-halangi pers dapat dikenakan sangsi pidana atau denda sekurang-kurangnya Rp.500.000.000,-

Itulah cermin pimpinan yang amat sangat kurang wawasan dan pengetahuan, bahkan untuk sebuah kedudukan pers atau wartawan saja, pun dia tidak mengerti dan tidak mengetahui. Bagaimana negeri ini dipimpin oleh seorang sosok yang sangat kurang wasawan dan kurang pengetahuan. Kalau untuk profesi mitra kerja saja dia tidak mengerti, tidak memahami, dan tidak menerima, bagaimana bisa dia memahami dan mengerti rakyat dan negeri ini?

Patutkah orang seperti itu menjadi pemimpin? Mungkinkah pemimpin seperti bisa mensejahterakan dan mengayomi rakyatnya? Bisa mewujudkan Negara ini menjadi Negara yang besar, maju, makmur dan sejahtera, beradab dan bermoral sebagaimana dicita-citakan para Faunding Father, pendiri negeri ini. Setiap pilihan kita menentukan harapan dan cita-cita yang kita inginkan.

Dalam kondisi kebebasan pers seperti sekarang ini, jangan pernah bermimpi menjadi pejabat atau public pigur, jika tidak cukup banyak uang untuk kegiatan promro yang melibatkan pers. Jangan menjadi pecundang, dengan membeda-bedakan wartawan atau media. Membeda-bedakan wartawan dan media, adalah satah satu upaya memicu memecah belah pers dan wartawan. Upaya memecah belah pers, sama artinya dengan menghina dan merendahkan profesi wartawan. 

Kalau pers saja di adu dan dipecah belah, tentu rakyatpun akan diperlakukan sama. Lalu Bagaimana dengan NKRI? Pantaskan orang seperti ini menjadi pejabat di negeri ini? Mengatur Negara ini?  menghancurkan persatuan dan kesatuan, memporak-porandakan Bhinneka Tunggal Ika. Pantaskah orang-orang seperti ini kita beri kesempatan?   (8globaliTa – Lrd Viga – 801).



Follow beritanya di www.8globalita.com  link  www.8globalita.blogspot.com  link  @8globalita_801   link   @kk_viga    link   Facebook : Globalita Globalita.

Kirimkan pesan anda ke email kami di : kk_viga@yahoo.co.id atau delapanglobalita@yahoo.co.id