I BERANDA I NASIONAL I INTERNASIONAL I METROPOLITAN I POLHUKAM I SOSDIKBUD I EKOBIS I SLERA I OLAHRAGA I NEWSTV I

Jumat, 02 Oktober 2015

News/Jum-2-10-2015/20:23-WIB/Indonesia Krisis Regenerasi Petani LIPI Krisis Kemitraan


Jumat 2 Oktober 2015 || 20 : 23 WIB
Kategori : News
Penulis   : Viga 801

Indonesia Krisis Regenerasi Petani LIPI Krisis Kemitraan


8GlobaliTa – Jakarta, Digambarkan dalam film dokumenter berjudul “Srono Urip - Para pemuda desa mengalami modernisasi dan berbondong-bondong pindah ke kota dan hasilnya krisis penggarap pertanian di desa. Urbanisasi pemuda desa ini pun menciptakan krisis regenerasi petani”.

Sekilas penggambaran dalam film dokumenter tersebut, sangat pas dengan kondisi pertanian di Indonesia saat ini. Pertanian skala kecil yang selama ini menghasilkan kebutuhan pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia mengalami situasi krisis karena produktivitas pertanian selalu ditopang oleh tenaga kerja usia tua yang semakin kurang produktif.

Melihat fenomena ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan tergerak untuk melakukan penelitian terkait krisis regenerasi petani dan hasilnya dipaparkan dalam diskusi publik “Srono Urip dengan Tema Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani di Pedesaan”, pada Jumat (2/10/2015) di Media Center LIPI di kawasan Gatot Subroto Jakarta.

Penelitian tentang regenerasi petani di Indonesia dilakukan LIPI melalui tim peneliti Program Unggulan, sub Program Ketahanan Sosial, Ekonomi dan Budaya dari tahun 2015 hingga 2019 mendatang. Di tahun pertama penelitian atau tahun ini, tim melakukan penelitian di tiga desa di wilayah eks Karesidenan Surakarta yakni Sragen, Klaten dan Sukoharjo. Tim peneliti pada penelitian itu memfokuskan pada masalah regenerasi petani dalam hubungan antara modernisasi dengan kontruksi pemuda di pedesaan melalui 4 hal yaitu keluarga, sekolah, sawah dan aktivitas non pertanian.

“Berdasarkan hasil pengamatan atau penelitian sementara, modernisasi yang dijalankan melalui keluarga, sekolah, sawah dan aktivitas non pertanian telah membentuk pemuda pedesaan sebagai sumber daya manusia yang bersifat modern. Pemuda pedesaan yang modern ini berpengaruh terhadap perilaku mobilitas penduduk usia muda di pedesaan melalui fenomena migrasi dari desa ke kota yang pada akhirnya berdampak ditinggalkannya pertanian skala kecil di pedesaan,” ulas YB Widodo, peneliti Pusat Penelitian kependudukan LIPI.


Dikatakannya, tim peneliti LIPI juga melihat modernisasi di pedesaan menjadi pendorong perubahan sosial terutama perubahan pandangan terhadap “aset” sosial, ekonomi dan budaya menjadi “modal” sosial, ekonomi dan budaya. Contoh sederhananya adalah pemuda sebagai generasi penerus tidak serta-merta mewarisi ketrampilan pertanian dari orangtua atau komunitas masyarakat karena modernisasi di bidang keluarga, sekolah, sawah, dan aktivitas non - pertanian justru mengasingkan mereka dari lingkungan tempat hidupnya.

Sementara itu, Gutomo Bayu Aji, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI lainnya menjelaskan, agar regenerasi petani berjalan dengan baik, hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa pemerintah  bersama-sama dengan sektor swasta dan masyarakat sipil perlu menciptakan variasi lapangan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan pemuda di pedesaan.

“Selain itu, perlu dilakukan peninjauan kurikulum pendidikan sekolah di tingkat dasar agar tidak mengasingkan anak-anak, remaja dan pemuda desa dari lingkungan tempat hidupnya dan agar mereka menjadi kreatif,” imbuh Gutomo.

Menurut Gutomo, teknologi serta variasi teknik budidaya pertanian perlu dibudidayakan di kalangan pemuda pedesaan terutama pada situasi media lahan pertanian yang terbatas dan dengan variasi jenis tanaman pangan dan non pangan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. “Bila hal itu berjalan dengan baik, maka krisis regenerasi petani di Indonesia bisa ditanggulangi,” pungkasnya.

Kalau Indonesia dilanda krisis Regenerasi Petani, LIPI juga mengalami Krisis Kemitraan Komunikasi dengan Media. Terbukti saat acara diskusi tentang Indonesia Krisis Regenerasi Petani di gelar, awak LIPI memperlihatkan sikap angkuh, tidak ramah bahkan tidak bersahabat seakan tidak memerlukan media. Padahal media dan wartawan adalah mitra kerja sebuah intansi, pemerintah maupun swasta termasuk LIPI.

Sikap dan perlakuan awak LIPI yang tidak bersahabat, memandang sebelah mata, memusuhi dan diskriminasi terhadap media dan wartawan ini adalah sebuah perlakuan arogan yang tidak menghargai profesi wartawan dan bisa dianggap sebagai pelecehaan terhadap pekerjaan profesi wartawan.

Sikap tersebut juga merupakan pola kerja LIPI yang kaku, sebagai lembaga pengetahuan, yang senantiasa mengkaji dan melakukan penelitian, seharusnya memiliki lebih banyak pengetahuan, termasuk memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjaga hubungan baik dengan media dan wartawan sebagai mitra kerja.

Bukan persoalan atensi seharga Rp.50.000,- atau Rp.100.000,- tetapi Wartawan dan media adalah mitra kerja yang seharusnya mendapat perlakuan sama dengan mitra kerja LIPI lainnya. Apalagi bila sebuah intansi melalui PR nya atau Humasnya melontarkan kata “Tidak diundang” itu sudah merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap profesi kerja jurnalitik, dan dianggap telah melanggar undang-undang dan Hak Pers sebagai sosial kontrol. Karena lontaran kata “Tidak diundang” adalah sebuah pengusiran.

Siapapun yang melontarkan kata tersebut sangat tidak profesional dan dangkal pengetahuan dalam hubungan komunikasi massa, karena selain penghinaan terhadap profesi kerja wartawan, juga sebuah tindakan menghalang-halangi pekerjaan pers atau wartawan.

Terkait seringnya muncul statemen “Tidak Diundang”, yang dilontarkan oleh seorang PR (Public Relations) atau Humas (Hubungan Masyarakat) dari sebuah intansi pemerintah maupun swasta, seorang pengamat dan pakar komunikasi massa dan sosial yang juga penulis, serta Pemimpin Redaksi Fakta News, R.L. Dewie S Sos, mengatakan hal tersebut adalah sudah merupakan “penolakan” secara halus akan keberadaan wartawan.

Artinya menurut Dewie orang tersebut sudah secara terang-terangan menghalang-halangi kerja seorang wartawan yang notabene pekerjaannya adalah mencari, mengolah dan menulis serta menyebarkan berita, tidak terlepas berita mengangkat atau sebaliknya.

“Jelas orang tersebut sudah melanggar UU Pers No.40 tahun 1999 tentang Pers pasal 18, bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghalang-halangi kerja wartawan sesuai pasal 4 ayat 3 dapat dipidana penjara 2 tahun dan denda sebesar Rp.500.000.000,” jelas Dewi yang juga seorang penulis dan sudah menekuni dunia wartawan sejak tahun 1990 ini.

Ucapan orang tersebut, tambahnya, secara tidak langsung sudah melakukan menghalang-halangi dan melakukan pengusiran. Berharap wartawan tidak ada atau tidak datang lagi dikemudian hari.

“Itu kan penolakan secara tidak langsung atau secara halus, itu bisa kena pasal itu,” tegas Dewi yang pernah mengecap pendidikan Jurnalistik dan menyelesaikan strata satunya di Unisba ini.

Saat disinggung tentang wartawan yang menerima amplop atau uang, Dewi mengatakan hal tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Biasanya sebagai atensi atau ucapan terima kasih, pelaksana kegiatan baik intansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan maupun perusahan swasta, ataupun secara perorangan memberikan atensi ucapan terima kasih itu dalam berbagai bentuk, seperti souvenir atau dalam bentuk uang.

“Hal itu sah-sah saja, sepanjang wartawan itu tidak menerima uang tersebut sebagai imbalan untuk tutup mulut atas informasi yang seharusnya diketahui publik,” ucap Dewi, yang juga pernah bekerja sebagai wartawan di salah satu media televisi swasta nasional ini.

Menurutnya, kerja wartawan adalah menulis, mencari, mengolah dan memberitakan atau menyebarluaskan berita. Sebagai profesi yang menekuni bidang menulis seorang wartawan patut dihargai dan dibayar, karena wartawan pekerjaannya menulis.

“Karya seorang wartawan atau penulis, ya tulisannya itu, karyanya patut kita hargai, dan berhak mendapat imbalan, jadi ia menerima imbalan dalam bentuk souvenir atau uang itu sah-sah saja, sepanjang dia tidak memeras, apalagi wartawan itu adalah mitra kerja,” ungkap Dewi.

“Seorang wartawan itu kan pekerjaannya menulis, setiap penulis dia bisa menjadi wartawan, tetapi tidak setiap wartawan bisa menjadi penulis. Seorang penulis dikatakan wartawan ketika ia bekerja sebagai wartawan di perusahaan media yang merupkan tempat atau wadah ia menyebarluaskan tulisannya. Wartawan itu merupakan profesi, pekerjaannya mencari, mengolah, menulis dan menyebarluaskan berita, bukan ‘Diundang’,” tegas Dewi.

Jadi kata Dewi, diundang atau tidak wartawan mempunyai hak mencari sumber berita untuk karya tulisnya, untuk kemudian memberitakan dan menyebarkan tulisannya tersebut agar bisa diketahui khalayak. “Wadahnya ya media, Media itu macam-macam bentuk dan skalnya,” ungkap Dewi.

Saat ini, kemajuan zaman dan teknologi sudah maju pesat, media juga bermacam-macam jenisnya, elektronik, online, cetak, medsos dan lain-lain. Bentuk dan sistemnya juga bermacam-macam, ada yang berskala besar maupun kecil. Kesemua media itu bisa dijadikan penulis atau wartawan sebagai wadah dan tempat penyebarluasan berita maupun tulisannya, termasuk media sosial. Intinya seorang wartawan atau penulis dia menulis itu supaya bisa dibaca oleh seluruh masyarakat dunia. Tidak hanya di dalam negeri tapi juga masyarakat internasional. Bahkan di luar negeri banyak wartawan yang kini justru menggunakan media sosial miliknya untuk menyebarluaskan tulisannya.

“Media dan wartawan adalah mitra kerja sebuah intansi swasta atau pemerintah, untuk bisa menyebarluaskan beritanya sesuai maksud dan tujuannya, intansi tersebut menggunakan jasa media atau wartawan, sebagai atensinya ya bermacam-macam bentuknya,” jelas Dewi.

Kata Dewi, Wartawan itu bukan pesuruh atau tukang kebun yang bisa diruruh-suruh yang hanya di nilai dengan uang Rp.50.000,- atau Rp.100.000,- perak. Wartawan juga bukan pejabat yang harus datang “diundang” dengan gelaran karpet merah dan disuruh duduk manis menikmati suguhan hiburan atau makanan yang disediakan.

“Wartawan bukan itu, tapi wartawan adalah mitra kerja yang juga patut dihargai, patut diberikan atensi, karena wartawan adalah pekerja profesi yang karyanya adalah sebuah tulisan, yang tidak semua orang bisa melakukannya,” tegas Dewi.

Menurut Dewi, Kebebasan Pers di Indonesia sudah semakin pesat dan berkembang, dan dilindungi Undang-undang. Undang-undang pers memberikan kebebasan kepada Pers untuk terus maju dan berkembang. Kebebasan pers juga memberikan peluang dan angin segar kepada siapapun untuk bisa membuka dan mendirikan lembaga Pers. Apapun bentuk dan skalanya, media tetap saja media, dijamin dan dilindungi undang-undang. Tidak lagi bisa dipandang dari kecil dan besarnya skala media tersebut. Siapapun yang tidak melaksanakan undang-undang tersebut, dikategorikan melanggar undang-undang pers, termasuk yang mengatakan ‘Tidak Diundang’ karena bisa dianggap sudah menghalang-halangi atau mengusir dan bisa dipidana atau dikenakan denda sesuai ketentuan yang berlaku.

“Karena media hanyalah wadahnya, selama wartawan itu melakukan kerjanya dari mulai mencari, mengolah, menulis dan menyebarluaskannya melalui wadah tadi, tetap saja dia wartawan karena sudah memenuhi tugas pokok profesinya tadi,” terang Dewie yang juga pernah menjadi penyiar radio di tahun 80-an dan kontributor (wartawan lepas) dan penulis di koran lokal Pikiran Rakyat (1990) serta menjadi Redaktur Gema Banten (1990 – 1993).

Seringkali para pelaku PR atau Humas ini dalam melaksanakan pekerjaannya tidak amanat. Tidak sedikit PR yang menjual atau menggunakan daftar nama media dan wartawan untuk mencari keuntungan atau menebalkan kantongnya sendiri, dengan cara memangkas atau memotong anggaran media dan wartawan yang di ajukan atau yang seharusnya.

“Ini sudah menjadi rahasia umum dan dianggap sudah biasa. Tapi jelas orang tersebut melakukan mark up atau korupsi anggaran atensi media atau wartawan. Sebagai mitra kerja yang seharusnya mendapat perlakuan sama dengan mitra kerja atau mitra bisnis mereka yang lainnya, media maupun wartawan dalam hal ini telah dijadikan sebagai kambing hitam atau dimanfaatkan keberadaannya,” pungkas Dewi. (8GlobaliTa – Viga 801).


Follow beritanya di www.8globalita.com  link  www.8globalita.blogspot.com  link  @8globalita_801   link   @kk_viga    link   Facebook : Globalita Globalita