I BERANDA I NASIONAL I INTERNASIONAL I METROPOLITAN I POLHUKAM I SOSDIKBUD I EKOBIS I SLERA I OLAHRAGA I NEWSTV I

Jumat, 30 Agustus 2013


ICT Gathering Dan Gala Dinner "Forum Rektor Indonesia Bersatu Hadapi AEC"

8Globalita-Jakarta, Forum Rektor Indonesia (FRI) menyatukan tekad menghadapi ASEAN Economy Community (AEC). Hal ini mengacu kepada disadarinya kemajuan teknologi dan peradaban manusia tidak lepas dari kemajuan pendidikan untuk mencetak generasi unggul dan terampil.

"Indonesia masih harus bekerja keras untuk meningkatkan daya saingnya di kawasan ASEAN. Ada dua prasyarat utama sebuah negara maju, yaitu karakter dan kompetensi," tutur Ketua Rektor Indonesia Prof Laode M Kamaluddin PhD, pada acara "ICT Gathering and Gala Dinner Forum Rektor Indonesia (FRI), di Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta, Kamis (29/8).

Berdasarkan data GCI, populasi ASEAN saat ini sekitar 600 juta jiwa dan 243 juta jiwa diantaranya berada di Indonesia. Berdasarkan indeks tahun 2012 hingga 2013, daya saing Indonesia masih berada pada urutan 50, menurun 4 level dibanding 2011. Di kawasan ASEAN sendiri, Indonesia masih berada jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (25), dan Thailand (38).

Laode mengungkapkan, "Kita perlu belajar dari kebangkitan negara Korea Selatan, terpaan perdagangan bebas tentu tidak terlalu berdampak bagi negara tersebut. Pasalnya, kekuatan produksi dan industri lokal lebih kuat dan rasa cinta terhadap produk dalam negeri pun sangat kuat, sehingga terpaan produk-produk luar tidak terlalu berdampak terhadap produk lokal".

Sedangkan mengenai kompetensi ini, menyangkut langsung dengan kualitas SDM dan produk. Peningkatan kualitas SDM tidak terlepas dari pendidikan. Sedangkan produktivitas berbanding lurus dengan SDM. "Logikanya adalah ketika pendidikan mampu menghasilkan SDM unggul, maka akan berpengaruh langsung dengan produktivitas, kreativitas dan inovasi," jelasnya.

FRI memiliki tanggung jawab besar untuk menyiapkan lulusan yang siap bersaing di era Asia. Mau tidak mau dan siap atau tidak, seluruh pimpinan perguruan tinggi di Indonesia harus membuka diri menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Tujuannya adalah untuk membangun jaringan seluas-luasnya untuk menciptakan lulusan lokal yang berpikir global, tambah Laode.

FRI berdiri sejak 1998 di ITB, 17 November 1998. Sejak berdirinya, FRI merupakan gerakan reformasi murni sebagai kekuatan moral dan intelektual secara kesinambungan. Sebagai kaum intelektual, para rektor harus memiliki wadah bersama untuk mengawal jalannya reformasi pada masa itu. Dan hari ini FRI juga turut mengawal akan dibawa ke mana bangsa ini ke depan.

Kesepakatan pendiri FRI ditandatangani oleh perwakilan ITB (ketua FRI pertama) Prof Lilik Hendrajaya, Rektor Universitas Trisakti Prof Thoby Mutis dan Rektor Universitas Veteran Ujung Pandang Prof Anwar Arifin.

Sementara Pempinan Redaksi Majalah Itech Muhammad Lutfi Handayani mengungkapkan, "FRI dengan 3.200 institusinya mewakili lebih dari 6 juta generasi muda. Saat ini 3.200 perguruan tinggi berjuang untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada 6 juta generasi muda untuk optimis, serta perduli dengan permasalahan bangsanya."

"Kerjasama antar universitas Asia, terutama kawasan regional ASEAN berperan penting dalam menyiapkan SDM yang unggul dan kompetitif ke depan. Generasi muda yang saat ini dikenal sebagai digital native terbiasa dengan pola hidup yang selalu bergantung dengan media. Maka, perguruan tinggi pun harus membuka diri dan memberikan ruang belajar yang sesuai dengan pola ini," paparnya.

Perguruan tinggi harus membuka diri dalam konvergence media yaitu kampus berbasis IT. Oleh karena itu dihimbau Lutfi, agar generasi muda meningkatkan networking yaitu membuka diri dalam pergaulan global.
“Networking mutlak diperlukan dalam menghadapi tantangan era Asia. Perguruan tinggi harus membangun jaringan seluas-luasnya dengan perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri,” pungkasnya. (Lrd.Khalits)