Selasa 24 Januari 2017 || 23 : 14 WIB
Kategori : Polkam
Penulis
: Lrd Khalits 801 / R. Mira
Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto :
Masyarakat Perlu Pendidikan Wawasan Sadar Keamanan
8Globalita – Jakarta,
Menyikapi situasi kondisi bangsa yang saat ini penuh dengan kegaduhan di
berbagai bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari politik,
hukum, sosial, agama atau sara, komunikasi, kemasyarakatan, dari tataran
filosofi kebangsaan mulai dari tingkat bawah hingga elit bahkan ditingkat
birokrasi pemerintahan saat ini, Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto, saat di
temui 8Globalita di sebuah acara perayaan HUT Yayasan Brata Bhakti ke 65 di
kawasan TMII Jakarta, Selasa (24/01/2017), menyampaikan pandangannya.
Kepada 8Globalita Sisno Adiwinoto menyampaikan
keprihatinannya, sekaligus memberikan pandangan dan mencoba memberikan gambaran
solusi untuk bisa meminimalisir kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Menurutnya, berbicara soal situasi keamanan saat
ini, sebenarnya tidak terlalu mencemaskan, karena situasi bangsa dan negara
saat ini masih bisa dikategorikan aman. Termasuk keberadaan media massa
termasuk media mainstream sebagai penyalur dan penyebar informasi dianggap
sudah cukup bagus, ditambah dengan hadirnya media sosial, semakin melengkapi
keberadaan media massa lainnya.
“Hanya saja, media sosial kadang-kadang
terlalu berlebihan, atau bahkan mengada-ada, sehingga seringkali memberikan
rasa kegundahan kepada masyarakat, menciptakan situasi dan kondisi semakin tidak
baik, karena memberikan kecemasan keamanan secara umum akibat rendahnya tingkat
kesadaran dan pengetahuan tentang keamanan itu sendiri,” kata Sisno.
Berbicara tentang keamanan secara mendasar, sebagaimana
tertuang dalam UUD 1945, pasal 30 tentang sistem keamanan rakyat semesta,
diatur dalam Pasal Pertahanan Negara dan Keamanan Negara, yaitu (1) Tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara. (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung. (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. (4)
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum. (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan dan kewenangan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan
tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan diatur dengan undang-undang.
Terkait sistem keamanan rakyat semesta,dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa Polri sebagai kekuatan inti atau
komponen inti, dan rakyat dikatakan sebagai komponen pendukung, tertuang dalam
poin 4.
“Polri sebagai kekuatan atau komponen inti,
saat ini sudah bagus, meski belum sangat bagus. Tetapi sudah bisa dikatakan
memadai, baik dari sisi kekuatannya yang sudah mencapai sekitar 400 ribu lebih
personil, maupun perlengkapan serta profesionalismenya sudah sangat oke,
termasuk sekolah kepolisiannya, mulai dari sekolah Bintara, Perwira, Akabri, PTIK, Sespim, Sespati, bahkan
kursus-kursus keguruan pun sudah ada untuk kepolisian, sehingga kesadaran dan
pengetahuan hukum dan keamanan di jajaran kepolisianpun sudah sangat oke,” jelas
mantan Kapolda Sulawesi Selatan ini.
Akan tetapi, rakyat sebagai komponen
pendukung, dalam hal pemahaman dan pengetahuan keamanan masih lemah, bahkan
masih sangat kurang. Rakyat Indonesia yang berjumlah kurang dari 250 juta ini,
yang merupakan komponen pendukung dalam sistem keamanan berbangsa dan
bernegara, tapi kesiapan keamanannya di dalam daya tangkal, daya cegah maupun
daya lawan terhadap gangguan keamanan itu masih sangat lemah.
Berbicara keamanan, terutama kesadaran,
kebersamaan mungkin itu ada, di setiap hati masyarakat, tapi bekal pengetahuan,
wawasan, kemampuan daya tangkal, daya cegah, dan daya lawan, itu tidak ada. Mengingat,
tidak ada sekolah atau tempat kursus yang bisa memberikan pemahaman dan
pengetahuan tentang itu kepada masyarakat.
“Mau nyari pengetahuan daya tangkal, daya cegah
dan daya lawan dimana, kan gak ada sekolahnya, itu gak ada pendidikannya, yang
ada itu baru untuk kesatuan keamanan atau untuk satpam. Itu ada, sekolah 3
bulan. Tapi yang lainnya, seperti untuk warga atau para keamanan di tingkat RT
seperti hansip, pertahanan keamanan yang berjaga di pos kamling itu belum ada.
Hansip sebagai petugas jaga di pos kamling dan satpam yang di undang kepolisian
untuk mengiktui pencerahan pengetahuan tentang sistem keamanan rakyat, mungkin sudah
oke, tapi rakyat lainnya sebagai ketahanan nasional di bidang keamanan itu
lemah,” ujar Sisno
“Kalau ketahanan nasional dibidang pertahanan mungkin
sudah lebih bagus, karena ada pendidikan bela negara, yang diberikan kepada hansip,
menwa yang merupakan bagian dari program kerja kementerian pertahanan itu ada,
jadi di dalam pertahanan mungkin sudah lebih bagus. Bahkan sekarang banyak
pendidikan yang didirikan oleh kemenhan untuk memberikan pengetahuan dan
pendidikan tentang bela negara kepada rakyat, dalam rangka menunjang ketahanan
negara. Tetapi di dalam sistem ketahanan untuk bidang keamanan belum ada. Jadi kalau ngomong ketahanan nasional di
bidang keamanann, ya saya berani ngomong
masih lemah,” tambah Sisno
Terkait daya tangkal, daya cegah dan daya
lawan, dalam hal keamanan, minimum ada niat dari setiap orang untuk dapat menangkal,
mencegah maupun melawan terhadap bentuk-bentuk yang dapat menciptakan kejahatan
yang membahayakan. Hal inilah yang belum disadari oleh kebanyakan masyarakat. Dalam
agama, terkait hal itu, ada dalam bentuk “amar ma’ruf nahi munkar”, akan tetapi
hukumannya hanya dalam bentuk pahala dan dosa. Belum secara nyata.
Namun demikian, “amar ma’ruf nahi munkar” sebagai
upaya menangkal atau mengantisipasi, mencegah maupun melawan terorisme, narkoba
sudah lumayan ada kesadaran dari masyarakat. Tapi dalam hal menangkal, mencegah
dan melawan kejahatan lainnya, masih belum ada kesadaran dari masyarakat untuk
merealisasikannya dalam wujud tindakan nyata. Terbukti seperti kejahatan
terhadap anak masih merajalela, kejahatan terhadap perempuan masih sangat
rentan dan kejahatan-kejahatan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran
keamanan dalam hal daya tangkal, daya cegah dan daya lawan terhadap tindakan gangguan
kejahatan, masih sangat lemah.
Untuk bisa merealisasikan tingkat kesadaran
daya tangkal, daya cegah dan daya lawan, diperlukan pengetahuan dan pemahaman
yang memadai, khususnya dalam upaya memberikan pemahaman dan pengertian tentang
hal tersebut melalui sebuah pendidikan khusus tentang membangkitkan kesadaran
keamanan dengan pengetahuan tentang daya tangkal, daya cegah dan daya lawan
terhadap tindakan gangguan kejahatan yang membahayakan maupun merugikan diri
sendiri dan orang lain di sekitarnya. Agar masyarakat mendapat pengetahuan dan
pendidikan tentang kesadaran keamanan tersebut, maka diperlukan adanya sekolah kesarjanaan
keamanan.
“Itulah yang belum ada, di kita lulusan
sarjana keamanan kan belum ada. Padahal sarjana keamanan itu sangat diperlukan.
Maka perlu di buka sekolah formal bidang keamanan,” ujar Sisno.
Sekolah tersebut menurut Sisno, dapat
memberikan pembekalan pengetahuan dan pemahaman tentang wawasan keamanan,
pengetahuan daya tangkal, daya cegah maupun daya lawan terhadap gangguan
keamanan. Melalui sekolah atau institusi pendidikan formal atau kursus-kursus
tersebut, pemahaman pengertian tentang kesadaran keamanan, tentang daya
tangkal, daya cegah dan daya lawan terhadap gangguan keamanan yaitu
tindakan-tindakan kejahatan, minimal dapat diantisipasi. Kesadaran keamanan itu
dapat juga melalui pendidikan, kursus-kursus seperti pendidikan bela negara.
“Pendidikan bela keamanan itu mestinya ada. Jadi
pendidikan-pendidikan, pelatihan-pelatihan masyarakat tentang kesadaran
keamanan itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Itu bisa dilaksanakan oleh
Kepolisian Republik Indonesia, selaku pembinanya. Atau oleh Bidang Pendidikan
Nasional, minimal pendidikan kesadaran tentang keamanannya itu harus ada. Hal
itu bisa juga dilakukan oleh institusi swasta, dengan mengadakan kursus-kursus
pendidikan latihan masyarakat(Diklatmas). Misalnya para pembantu rumah tangga
atau asisten rumah tangga dikursuskan atau dibekali dengan diberikan latihan
atau kursus untuk mengantisipasi adanya orang masuk yang akan melakukan
tindakan penipuan, para baby sister dikursuskan untuk mengantisipasi tindakan
kejahatan penculikan anak, sopir-sopir dikursuskan untuk dapat mengamankan atau
mempertahankan kendaraanya dari tindakan kejahatan seperti pencurian atau
perampokan kendaraan di jalan, itu semua diperlukan keasadaran keamanan dari
masyarakat,” papar Sisno.
Malalui sekolah keamanan atau pun
kursus-kursus keamanan tersebut, masyarakat diberikan pemahaman, dan pendidikan
bagaimana peran sertanya untuk menangkal, mencegah atau melawan kejahatan,
sehingga gangguan keamanan yang seringkali terjadi di masyarakat menjadi musuh
bersama.
“Kesadaran inilah yang belum dimiliki
masyarakat, karena saat ini, tindakan daya tangkal, daya cegah maupun daya
lawan, terhadap gangguan keamanan senantiasa ditumpukkan kepada aparat keamanan
semata. Bahkan seringkali setiap ada kejahatan, masyarakat selalu mengatakan
biarkan saja , itu kan kerjaannya para aparat keamanan atau pekerjaannya polisi,”
tutur Sisno.
Untuk menangkal, mencegah, dan melawan
tindakan gangguan kejahatan atau gangguan keamanan tidak hanya tugas aparat
keamanan saja, tetapi tugas dan kewajiban seluruh masyarakat di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
“Menjaga keamanan tidak semata-mata hanya
tugas dan kewajiban aparat keamanan, tetapi seluruh komponen bangsa. Benar
polri adalah kekuatan dan komponen inti, dan masyarakat adalah merupakan
komponen pendukung dalam menciptakan keamanan, itulah kehidupan berbangsa dan
bernegara,” kata Sisno.
Utamanya yang pertama wajib melakukan adalah Kementerian
Pertahanan, melalui pertahanan nasinal. Dan itu sudah dilakukan dengan program
bela negara yang terus menerus digalakkan dan disosialisasikan. Tetapi di
tingkat kepolisian, kesadaran tentang keamanan belum ada. Mestinya kepolisian harus sudah mendirikan
lembaga pendidikan atau sejenis universitas keamanan.
Karena saat ini profesionalisme, atau sarjana
lulusan keamanan sudah sangat diperlukan. Melalui Universitas akan dicetak
sarjana-sarjana keamanan, yang sudah dibekali dan mendapat pendidikan ilmu
pengetahuan tentang kesadaran keamanan bagaimana menangkal, mencegah, dan
melawan gangguan-gangguan keamanan. Melalui sarjana-sarjana keamanan tersebut,
diharapkan dapat menyalurkan pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya dengan
memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat, tentang pemahaman kesadaran
keamanan, tentang bagaimana melakukan daya tangkal, daya cegah dan daya lawan
terhadap gangguan keamanan.
“Saya sudah bicara dengan Kapolri, kapolri
juga sudah merespon, kayaknya perguruan tinggi ilmu kepolisian (PTIK) untuk dirubah
menjadi universitas keamanan, dan itu nantinya terbuka untuk umum. Mudah-mudahan
itu segera direalisasikan,” harap Sisno Adiwinoto.
Saat ini, pelatihan-pelatihan seperti bela
negara, atau yang sekarang pembinaan masyarakat (Binmas) akan menjadi kordinator pembinaan masyarakat (korbinmas),
yang menjadi kordinator, bukan hanya korlantas saja, tapi juga binmas.
Dengan demikian jangkauan binmas akan jauh
lebih maju dan lebih prehentif dan preventif. Itu sebab diperlukan pelatihan
kesadaran keamanan bagi masyarakat. Di Kementerian Pertahanan sudah membuat institusi
kursus manajemen (susjemen) pertahanan yang bertempat di Pondok Labu, Jakarta
Selatan. Bila memungkinkan, susjemen keamanan juga bisa dibuka oleh kepolisian.
“Bukan untuk meniru-niru, tapi untuk kesejajaran
tentang pertahanan, kesejajaran tentang keamanan. Dengan TNI sebagai kekuatan
inti pertahanan, Kepolisian sebagai kekuatan atau komponen inti keamanan dan rakyat
sebagai komponen pendukung keamanan, dapat secara bersama-sama, menjaga
keamanan bersama,” papar Sisno.
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan
Kepolisian RI melalui Bidang Kabaharkam harus memfasilitasi segala bentuk dan
kegiatan kesadaran keamanan seperti poskamling-poskamling (pos keamanan lingkungan)
dan memberikan perawatan atau memberikan pemeliharaan serta memberikan honor kepada
petugas keamanan di poskamling, atau hansip-hansip dan fasilitas lainnya.
Gangguan keamanan dalam bentuk kejahatan narkoba,
sudah disadari masyarakat dan dijadikan sebagai musuh bersama. Seluruh
masyarakat sudah menyadari untuk memerangi narkoba yang merupakan kejahatan dan
menjadi musuh bersama. Masyarakat sudah sadar betul, bahwa narkoba dapat menyerang
siapapun, dan masyarakat menyadari bahwa siapapun bisa menjadi korban.
Begitupun dengan terorisme, sudah disadari
oleh masyarakat sebagai kejahatan luar biasa. Di setiap RT dan RW sudah mulai
memberi pencerahan kepada warganya tentang kejahatan terorisme dan masyarakat
sudah mulai sadar bahwa teroris sudah mulai menjadi musuh bersama.
Tapi dalam hal memerangi radikalisme,
masyarakat belum memiliki kesadaran penuh. Padahal ekstrimis-ekstrimis dari
radikal-radikal itu, mestinya dieliminir. Untuk mengeliminasi radikalisme ini, tidak
bisa hanya dilakukan oleh aparat keamanan, sepertii Polisi dan TNI saja, tetapi
oleh seluruh masyarakat, sebagai komponen pendukung keamanan.
Begitupun media massa, harus turut serta
berperan aktif, menumbuh kembangkan kemauan, kesadaran maupun pengetahuan
tentang kesadaran keamanan, tentang daya tangkal, daya cegah dan daya lawan
terhadap gangguan keamanan, yang menyerang masyarakat.
Tentang pengetahuan hukum, program ILC
(Indonesia Lawyer Club) yang ditayangkan oleh salah satu media massa televisi
nasional, cukup banyak berperan. Namun, masih perlu beberapa pengetahuan
wawasan, pengalaman tentang bagaimana menciptakan proses keamanannya, karena di
ILC, peran media masa baru lebih kepada pemahaman, pendidikan, dan pengatahuan
tentang hukum. Artinya dalam pemahaman tentang hukum, media massa ikut berperan
serta memberikan kesadaran kepada masyarakat. Tetapi peran serta dalam
memberikan pemahaman tentang kesadaran keamanan dalam hal daya tangkal, daya
cegah dan daya lawan, peran media massa belum banyak.
Peran media massa untuk mensosialisasikan pemahaman
tentang kesadaran hukum maupun kesadaraan tentang keamanan sangat penting,
mengingat apapun yang dilakukan, sebagus apapun programnya, jika tidak disebarluarkan tidak akan berarti
apa-apa. Media massa merupakan salah satu sarana yang paling tepat untuk
penyebaran informasi secara luas dan menyeluruh kepada masyarakat secara cepat,
segera dan kontinyu, apalagi di era teknologi modern dan digital saat ini.
Karena melalui peran media diharapkan, pesan akan segera sampai dapat diterima
masyarakat di manapun berada, bahkan hingga ke pelosok desa yang sulit
dijangkau sekalipun.
“Sebab apapun, sebagus apapun sistem dan
programnya, jika hanya di bicarakan atau hanya menjadi bahan diskusi 2 atau 3
orang, tidak akan berarti apa-apa, karena pesannya tidak akan sampai kepada
masyarakat, paling-paling yang mengerti hanya 2 atau tiga orang itu saja, atau
hanya mereka yang mediskusikannya saja, sementara masyarakat tidak. Itu akan
menjadi hal yang sia-sia dan percuma. Jika tidak disampaikan melalui media
massa, karena pesannya tidak akan sampai kepada masyarakat. Itu sebab peran
serta media massa sangat penting,” jelas Sisno.
Dengan mengatakan kepada media, melalui
kekuatannya, media massa akan menyebarluaskannya kepada masyarakat, dan pesan
pun akan segera sampai kepada masyarakat, dengan cepat, segera, dan menyeluruh
secara serentak.
Penyebarluasan pemahaman kesadaran keamanan
itu amat sangat penting, oleh sebab itu peran serta dan keberadaan media massa
pun amat sangat penting. Bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi untuk
kepentingan semua pihak, kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Kepentingan
dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika dalam agama islam adalah amar ma’ruf nahi
munkar. Sudah menjadi kewajiban setiap umat muslim menghindari hal-hal jahat atau
hal-hal negatif, kemudian mendekatkan atau menjalankan hal-hal yang baik-baik.
Seharusnya, melalui binmas, kepolisian sudah
harus bisa memberikan pembinaan kepada masyarakat, agar setiap orang “harus
tidak mau menjadi pelaku kejahatan” atau
“berniat untuk tidak melakukan kejahatan”. Di benak setiap orang seringkali cenderung
memiliki niat jahat atau niat untuk melakukan kejahatan, dan sadar atau tidak
seringkali memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kejahatan.
Dengan kita memberikan kesempatan kepada orang
lain atau membiarkan orang lain melakukan kejahatan, itu artinya sama dengan
kita melakukan kejahatan atau kita berniat melakukan kejahatan. Pola pikir
seperti inilah yang haus diantisipasi. Pola pikir seperti inilah yang harus
diberikan penjelasan kepada masyarakat melalui pemberian pengetahuan, wawasan,
pemahaman kesadaran kepada masyarakat, tentang bagaimana menerapkan daya
tangkal, daya cegah dan daya lawan terhadap gangguan-ganguan keamanan, termasuk
melakukan daya tangkal, daya cegah dan daya lawan terhadap kabar bohong atau
hoax.
Paling tidak, setiap orang harus tidak mau
jadi pelaku kejahatan apapun dari yang sekecil-kecilnya. Setelah itu baru
bicara tidak mau jadi korban kejahatan. Umumnya semua orang selalu mengatakan tidak
mau jadi korban, tapi begitu mengendarai kendaraan di jalan raya, dengan zig
zag ngebut atau ugal-ugalan, itu artinya orang tersebut sudah mau jadi korban,
atau memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk menjadi korban.
Hal lainnya seperti menyimpan dompet atau
benda lainnya secara seenaknya, atau ditongol-tongolkan yang sengaja mudah
dilihat untuk diambil atau dicopet, itu sama artinya dengan memberi kesempatan
kepada orang lain untuk melakukan kejahatan, dan secara langsung, sadar atau
tidak, kita sendiri telah memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk mau
menjadi korban.
Contoh lain misalnya, memarkirkan kendaraan
secara sembarangan, atau tanpa dilakukan penguncian ganda, itu pun salah satu
cara memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kejahatan
pencurian, dan kita selaku pemilik, artinya sudah mau jadi korban.
“Jadi jangan ngomong “siapa yang mau jadi
korban?!”, jika dalam keseharian kita masih bersikap lalai, bahkan terhadap
diri sendiri, tidak waspada. Kita tidak menghendaki preventif aktifnya, itu
namanya sudah mau jadi korban, memberi
kesempatan kepada penjahat untuk berbuat kejahatan kepada diri kita sendiri,”
jelas Sisno .
“Setelah tidak mau jadi pelaku kejahatan,
seharusnya kita, harus tidak mau jadi korban dari tindakan kejahatan. Masyarakat
harus disadarkan tentang hal ini, diberikan pemahaman untuk tidak mau jadi
korban. Inilah yang harus dijelaskan kepada masyarakat, hingga masyarakat
memahaminya. Karena tidak semua masyarakat paham tentang hal ini, banyak orang ngomong
tidak mau jadi korban, tapi umumnya masyarakat lalai,” tambah Sisno.
Setelah tidak mau jadi korban, selanjutnya adalah
berperan serta aktif untuk tidak melakukan tindakan kejahatan pasif. Tindakan
kejahatan pasif adalah membiarkan satu kejahatan terjadi atau tidak perduli
alias bersikap masa bodoh terhadap orang lain yang menjadi korban dari sebuah
tindakan kejahatan, seperti dirampok, dianiaya, disiksa dan tindakan kejahatan
lainnya. Atau seseorang bisa dikatakan menjadi pelaku kejahatan pasif ketika
dia tidak berbuat apa-apa ketika melihat atau mengetahui suatu tindakan kejahatan
yang membahayakan orang lain. Atau orang yang berperilaku acuh tak acuh atau
cuek atau justru membiarkan suatu tindakan kejahatan.
“Ketika kita membiarkan suatu tindakan
kejahatan terjadi, maka kita menjadi pelaku penjahat pasif, seperti tindakan
kejahatan KDRT, yang kerapkali terjadi di lingkungan kita dan di depan mata
kita,” kata Sisno.
Khususnya kejahatan KDRT (Kejahatan Dalam
Rumah Tangga), sudah di atur dalam UUKDRT. Bila KDRT terjadi, artinya sudah
melanggar undang-undang. Itu wajib ditindak dan dilaporkan atau diberitahukan
kepada pihak aparat berwenang. Sebagai contoh, misalnya sebelah rumah kita
pukul-pukulan, dan kita mengetahuinya, tapi kita membiarkan hal itu terjadi.
Dalam kasus ini, kita sebagai warga masyarakat tidak bisa berlaku masa bodoh
terhadap apa yang terjadi disekitarnya tersebut, yang menimpa tetangga kita.
Karena jika kita diam saja, itu artinya kita membiarkan gangguan tindakan
kejahatan terjadi dan berlangsung di depan mata kita, itu sama dengan kita
menjadi pelaku penjahat pasif. Hal itu ada pasalnya, dan orang yang membiarkan
tindakan kejahatan itu terjadi, bisa dilaporkan, dan bisa dikenakan pasal
pelaku penjahat pasih. Oleh sebab itu, sekarang siapapun harus melaporkan semua
tindakan kejahatan, baik yang melakukan kejahatan maupun pelaku kejahatan
pasif.
Untuk menghindari kita kena pasal pelaku
kejahatan pasif, maka untuk mencegahnya hal terjadi pada diri kita, maka bisa
melakukan dengan mencegah setiap kejahatan yang akan dan sedang terjadi maupun
sudah terjadi. Kita bisa melakukan sendiri pencegahan sendiri atau dengan
melaporkan atau memberitahukan kepada aparat berwenang terdekat disekitar kita,
seperti kepada lingkungan warga disekitar kita atau kepada hansip maupun satpam
sebagai petugas keamanan di lingkungan sekitar, atau RT, RW setempat dimana
kita tinggal.
Setiap orang wajib melaporkan setiap tindakan
kejahatan. Jika tidak, orang yang membiarkan tersebut bisa dituntut, sebagai
pelaku tindakan kejahatan pasif atau bisa dituduh melindungi pelaku kejahatan.
Siapapun yang melindungi pelaku kejahatan, itu juga disebut pelaku kejahatan
pasif. Karena dengan tidak berbuat apa-apa saat mengetahui tindakan kejahatan,
justru sebenarnya dia telah melakukan kejahatan.
Jika tidak ingin dikenakan pasal melindungi
kejahatan, paling tidak kita harus melaporkan, memberitahukan tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh siapapun. Pihak-pihak yang bisa diberitahu atau
diberi informasi tentang tindakan kejahatan tersebut, misalnya hansip, satpam,
RT, RW setempat atau kepolisian terdekat, dan lain-lain.
Setelah itu mau melaporkan, yang berikutnya
adalah mestinya masyarakat mau menjadi saksi. Sekarang ini kalaupun mau menjadi
saksi, itupun umumnya harus dipaksa. Setelah dipaksa terlebih dahulu, baru mau
bersedia menjadi saksi. Jika tidak dipaksa, kebanyakan tidak mau. Hal ini
disebabkan karena tingkat kesadaran hukum dan tingkat kesadaran keamanan
masyarakat kita untuk mau menjadi saksi, masih sangat rendah, bahkan sangat
kurang. Oleh sebab itu, masyarakat perlu diberikan tentang wawasan, pandangan,
pendidikan dan pengetahuan tentang kesadaran mewujudkan keamanan secara bersama,
sehingga kejahatan bisa diperangi secara bersama oleh seluruh masyarakat. Dan
menjadikan kejahatan atau gangguan keamanan sebagai musuh bersama. itulah kunci
untuk menegakkan hukum di dalam berbangsa dan bernegara ini.
Penegakan hukum itu, memang benar yang pertama
dilakukan adalah oleh polri sebagai kekuatan inti atau komponen inti penegakan
hukum. Mengingat konsep negara kita berdasarkan
hukum. Maka, penegakannya harus berdasarkan hukum, baik secara prehentif maupun
preventif.
Penegakan hukum berdasar kepada prehentif dan
preventif, yang pertama adalah deteksi mengumpulkan informasi oleh BIN,
Kabagintel Polri dan jajarannya. Deteksi mengumpulkan informasi dan berbagai
macam pemetaan kelompok-kelompok radikal, kelompok-kelompok teroris, kelompok-kelompok
narkotik, termasuk asal wilayah daerah atau negara dari kelompok-kelompok
tersebut.
Kemudian secara prehentif adalah menghilangkan
niat jahat orang dan menumbuh kembangkan niat baik itu merupakan tugas binmas (pembinaan
masyarakat) polri. Pembinaan masyarakat inilah yang masih lemah dilakukan Kepolisian
RI. Hal itu disebabkan jangkauan bidang Korbinmas sangat terbatas. Seharusnya terkait
pembinaan masyarakat, jangkauannya harus lebih luas, oleh sebab itu, seharusnya
Korbinmas diganti menjadi Kabagbinmas. Sehingga sikap kerjanya lebih kuat,
karena fungsinya dapat sejajar dengan BIN (Badan Intelejen Nasional).
Kemudian yang dimaksud dengan prehentif adalah
bidang penegakannya yang berada di Korbinmas, juga mestinya diganti menjadi
prehentif bidang Kabagbinmas, agar lebih kepada menghilangkan niat buruk, dan
menumbuhkembangkan niat baik.
Setelah itu, kemudian baru Kababinkam polri atau
sekarang Kabaharkam (kepala badan pemeliharaan keamanan).Yang tepat mestinya kembali
ke nama sebelumnya yaitu Kepala Badan Pembinaan Keamanan (Kababinkam), karena
pembinaan itu salah satu unsurnya adalah pemeliharaan. Disitu bintang 3 semua.
Lalu secara preventifnya yang mengurusi yaitu
patroli atau pengaturan, mulai dari Turjagwali (pengaturan penjagaan pengawalan
patroli). itu dilakukan oleh aparat kepolisian. Tetapi mengenai preventif yang
dilakukan oleh masyarakat dalam rangka ketahanan nasional dibidang keamanan
yaitu seperti poskamling, satpam.
Namun sangat disayangkan, keberadaan Poskamling
itu saat ini fungsinya sudah tidak lagi diberdayakan, bahkan nyaris hilang dan
tidak ada, karena masyarakat melalui RT, dan RW setempat sudah tidak lagi
memberdayakannya. Sesungguhnya ini
sangat perlu, untuk meminimalisir tindakan kejahatan sedini mungkin. Itu sebab,
seharunya keberadaan poskamling-poskamling ini kembali digalakkan untuk diberdayakan oleh masyarakat melalui
pengerahan RT dan RW setempat dibawah kordinasi Kababinkam Kepolisian RI. Hal
ini penting untuk menjaga atau meningkatkan kesadaran keamanan ditingkat
masyarakat. Petugas atau penjaga poskamling seperti hansip atau satpam, diberi
gaji atau honor, karena mereka merupakan salah satu petugas komponen pendukung
keamanan masyarakat. Hansip atau satpam di wilayah RT dan RW yang selama ini
hanya selama ini hanya diberi gaji oleh warga di lingkungan setempat, kini
harus sudah mulai diupayakan diberi honor atau gaji oleh negara .
Tindakan preventif berikutnya adalah yang
dilakukan oleh Kabareskrim (Kepala bagian Reserse dan kriminal) Kepolisian RI.
Kabareskrim polri sekarang sudah sedemikian kuatnya, bahkan akan diperkuat lagi
dengan cyber yang akan menjadi direktorat tersendiri. Tentu saja dengah
kehadiran direktoran secara tersendiri, akan semakin memperkuat kepolisian
dalam menangani gangguan keamanan kepada masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
begitu kepolisian dapat semakin bertindak refresif, dalam menangani gangguan
keamanan secara preventif.
Sehingga penanganan kondisinyapun bisa menjadi
sejajar di dalam penindakan. Jika penindakan meningkat, maka kejahatanya pun
pasti meningkat. Ditambah dengan peran
serta media massa yang semakin transparansi dalam pemberitaan dan
penyebarluasan beritannya, sehingga wajar jika kejahatannya semakin terlihat
banyak dan meningkat.
Meski mungkin, sejak dari dulu sesungguhnya
kejahatannya segitu-gitu saja, tapi karena terus ditindak dan ditindak dan
diinformasikan kepada masyarakat melalui media massa, maka kejahatan makin
terlihat meningkat. Hanya saja bedanya, kepolisian di masa dulu tidak terlalu
mempublikasikannya. Dan itu bisa terjadi karena banyak hal, seperti karena keterbatasan
media massa pada masa itu, atau mungkin dulu petugasnya belum aktif dan belum
profesional seperti sekarang, sehingga kejahatan atau gangguan keamanan, tidak
ditangani secara aktif dan profesional, karenanya terlihat seperti tidak ada
kejahatan. Kalaupun ditangani, tidak di dipublikasikan ke media massa, itu
sebab seperti tidak ada kejahatan, padahal kejahatan ada dan terjadi. Itulah yang
kemudian dikatakan “darknumber” atau tidak terdaftar, tapi ada.
Pendanaan kepada petugas poskamling seperti
hansip atau satpam, dalam rangka penanganan gangguan keamanan masyarakat secara
Preventif dalam bentuk Turjagwali, di wilayah desa setempat, bisa diambil dari
pendanaan desa setempat, yang keuangannya adalah dari negara atau APBN, bisa
melalui Kepolisian, Kemenhan, atau pendanaan desa, yang dikucurkan melalui
aparat RT RW wilayah tersebut. Apalagi, ke depan akan ada pengucuran dana ke
setiap RW sebesar, satu milyar, dari APBN atau APBD. Itu artinya dana tersebut
bisa juga digunakan untuk kegiatan preventif penangangan penanggulangan
gangguan keamanan masyarakat, termasuk memberi gaji atau honor kepada petugas
poskamling, yaitu hansip atau satpam. Hal itu harus sudah mulai diwacanakan.
Karena jika tidak, justru nanti bisa memicu kebingungan, untuk penggunaan dana
tersebut, jika kegiatannya tidak ada. Jangan sampai duit itu dikorupsi, atau menjadi
sumber korupsi. Oleh sebab itu, poskamling harus sudah diadakan lagi dan
diberdayakan lagi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ada 3
kelompok besar yang perlu diperhatikan yaitu, satu, masyarakat ditatar
filosofi. Pengetahuan Filosofi ini sangat penting dan harus lebih mendasar. Secara
Filosofi, dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus berpegang
teguh kepada Pancasila, UUD 1945, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara. Baru kemudian bicara
soal norma, yaitu norma adat, norma agama (bukan saya taruh agama dibelakang ya),
dan norma sosial, baru kemudian tentang kearifan
lokal.
Norma agama, ancaman hukumannya hanya sebatas
baik dan buruk. Tetapi jika kita bicara tentang tataran filosofi, ini terkait
masalah moral, etika, sosial itu juga ancamannya hanya kepada baik dan
buruk. Seperti, ini orang baik, ini
orang jahat, atau tidak baik, atau sebutan dia pancasilais, dia toleransi, dia
nasionalis dan sebagainya.
“Tetapi bicara tentang wawasan, kita harus
dimulai dari pancasila, UUD 1945, wawasan kebangsaan, wawasan nusantara. Inilah
yang harus kita pahami sebagai warga negara, yang hidup di negara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jadi jangan bicara “suka gak suka”, karena
kita hidup dalam negara yang beratus suku, beribu bahasa daerah, dan 6 agama sebagaiman
diresmikan negara. Dengan demikian, jangan lagi bicara agama A lebih bagus dari
agama B. Kita gak bisa seperti itu, itulah wawasan moral, etika bangsa. Jadi
kalau mau ngomong revolusi mental , mental itu adalah salah satu filosofi yang harus
dipegang teguh sampai norma-norma kearifan lokal, yaitu budaya dan adat norma
sosial. Itulah yang harus dipegang teguh oleh kita sebagai masyarakat,” ucap
Sisno.
Semua itu harus dipahami oleh seluruh
masyarakat. Pengetahuan dan pemahaman itu harus diberikan kepada masyarakat
melalui pendidikan, pelatihan, wawasan tentang kesadaran bela negara di bidang
keamanan (bukan dibidang pertahanan atau bidang pangan atau bidang yang lain). Karena
kita bicara tentang wawasan kebangsaan, dan masyarakat adalah komponen pendukung
keamanan. Pengetahuan ini, merupakan salah satu tataran filosofi.
Sedangkan Tataran konsepsi adalah membuat
konsep rencana apapun yang nanti mau ditindak lanjuti dalam kegiatan kita, yang
tatarannya berdasarkan hukum. karena negara kita adalah negara hukum, negara
yang berdiri berdasarkan hukum, UUD 1945,
Tap MPR tahun 2000 yang merujuk pada Tap MPRS No 20 tahun 1966, semua itu
merupakan sumber hukum dan tata urut peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini, dan sumber hukumnya adalah UUD 1945, dan tata urutnya yaitu, UUD 1945, Tap MPR, UUD, Perpu (peraturan
pemerintah pengganti undang-undang), baru peraturan PP, perpres, baru perda.
Perpres atau dulu Kepres, baru perda ini
mutlak harus dijalankan. Dan semua itu diatur di dalam tataran operasional
yaitu seperti keputusan menteri (Kepmen), SOP, program kerja, AD/RT. Jika semua
itu ada di tataran korporasional, itu harus kita pegang. Jika bangsa dan rakyat
kita ini mengerti tentang itu semua, pegangannya dasarnya, ada di UUD 1945, pasal
28, dari 28 A hingga 28 J. Pasal 28 ini menjelaskan bahwa setiap warga negara
wajib melindungi hak asasi orang lain. Artinya jangan hanya bicara hak saja,
tapi ada hak orang lain yang menjadi kewajiban kita untuk memberikan hak kepada
orang lain. Bukan hanya menuntut hak saja pribadi saja, karena di dalam hak
kita, ada kewajiban kita memenuhi hak orang lain, karena hak dan kewajiban
harus seiring dan sejalan kita lakukan. Kewajiban lebih penting didahulukan, baru
meminta hak.
Secara rinci
Pasal yang mengatur Hak Azasi Manusia yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28 bahwa ”Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 A bahwa Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,
Pasal 28 B yaitu (1)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah, (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28 C
yaitu (1) Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya
Pasal 28 D yaitu (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk berkerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalm pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan.
Pasal 28 E yaitu (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28 F
yaitu bahwa Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pasal 28 G yaitu
(1) Setiap orang berhak atas perlindung
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28 H
yaitu (1) Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas imbalan jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. (4) Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
alih sewenang-wenang oleh siapapun.
Pasal 28 I yaitu (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. (2) Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yanbg bersifat diskriminatif atas dasar apaun dan berhak
mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah
(5) Untuk
menegakkan dan melindungi hak asaso manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokrastis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Yang terjadi selama ini seringkali, kita lebih menuntut hak, dan
melupakan kewajiban kita. Wawasan dan pengetahuan wawasan-wawasan seperti
inilah yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat, pemahaman tentang
bagaimana supaya hidup itu aman, tentram dan damai.
Itu semua ada di UUD 1945 Pasal 28 J yaitu : (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimabangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokrastis.
itu semua besaran tataran operasional, setelah
tataran filosofi berbangsa dan bernegara mulai dari pancasila sampai dengan
norma, kemudian hukum dan UUD 1945 sampai
Perda (Peraturan Daerah), tataran operasionalnya dulu adalah GBHN, dan sekarang adalah program-program
nasional dan program-program kerja.
Sudah ada suara-suara tentang itu, karena mau
tidak mau, itu harus dijalankan oleh seluruh masyarakat, dalam berkehidupan
berbangsa dan bernegara. Sekarang semua itu ada di dalam RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Pendek), RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
RPJP atau RPJM tersebut ada undang-undangnya
yaitu UU No (sekian saya gak hafal).
Tapi seringkali orang lupa itu, karena ada kementerian-kementerian,dan ada
program nasional, yang kadang-kadang
masih sektoral satu dengan lainnya. Termasuk salah satunya adalah saat rapat
staf menteri yang dihadiri oleh para sarjana lulusan sesuai bidangnya, seperti
sarjana ekonomi, sarjana menejemen, sarjana hukum tatanegara, sarjana politik
dan sebagainya, tetapi tidak ada satupun dari kementerian itu memiliki sarjana
lulusan bidang keamanan atau sarjana keamanan. Itu lebih disebabkan, karena di
kita belum ada sekolah atau universitas yang mencetak sarjana Keamanan.
Itu sebab, program-program di kementerian,
tidak diwarnai dengan wawasan keamanan, karena staf di kementerian tidak
memiliki pakar atau ahli di bidang wawasan keamanan. Wawasan yang selama ini
ada, hanyalah disesuaikan dengan kemampuan disiplin ilmu yang ada selama ini,
seperti kemampuan sarjana di bidang sospol (sosial politik) dan hukum. Dan
hanya itulah kemampuan staf-satf yang ada dikementerian-kementerian saat ini.
Itu menjadi keterbatasan sekaligus keterbelakangan kita di dalam pengetahuan
kesadaran wawasan berbangsa dan bernegara dan pemahamanan kesadaran keamanan.
Oleh sebab itu, diharapkan, kelemahan,
keterbatasan dan ketertinggalan itu, bisa diperbaiki dengan harus sudah mulai
didirikannya lembaga formal seperti universitas untuk mencetak sarjana keamanan.
Untuk wawasan pertahanan, sudah ada lulusan
sarjana pertahanan, karena memang sudah ada Unhan (Universitas Pertahanan) di Batam,
yaitu sekolah intel, dan lulusannya saat ini sudah banyak yang menjadi pengamat
pengamanan pertahanan serta banyak yang sudah menjadi ahli-ahli intelelegen.
Itu bagian dari bela pertahanan atau wawasan bela negara. Namun universitas
yang mencetak sarjana keamanan, itu belum ada sama sekali. Menyikapi kondisi
bangsa seperti sekarang ini, maka dibutuhkan didirikannya lembaga atau
universitas keamanan untuk mencetak lahirnya sarjana-sarjana keamanan. Karena itu
belum ada sama sekali, karena memang belum ada institusi atau universitas yang
mencetak itu.
“Institusi formal atau sekolah keamanan tersebut
bisa saja didirikan oleh kepolisian sesuai porsinya, tapi harus bisa include di
semua kementerian, seperti keamanan pangan untuk di kementerian pertanian,
keamanan industri untuk di ESDM, dan lain-lain. Mengingat ilmu atau kemampuan
maupun keahlian bukan monopoli. Yang monopoli adalah kewenangannya, yaitu jika
sudah bicara menyidik, harus dilakukan oleh penyidik, bukan oleh ormas atau LSM,
dan seterusnya. Hal ini harus segera direalisasikan, mengingat fakta-fakta
dimasyarakat, bangsa saat ini membutuhkan itu,” kata Sisno Adiwinoto,
mengakhiri bincang-bincangnya. 8Globalita – Lrd
Khalits 801 / R. Mira).
Kirimkan pesan anda ke email kami di : kk_viga@yahoo.co.id atau delapanglobalita@yahoo.co.id
Follow beritanya di www.8globalita.com
link www.8globalita.blogspot.com
link @8globalita_801 link
@kk_viga link Facebook : Globalita Globalita.